Sabtu, 17 Oktober 2009

KEDUDUKAN HADITS Di Samping Al Qur'an

Ummat islam sepakat bahwa sumber ajaran islam yang pertama dan utama adalah Al Qur'an. Ia diturunkan melalui malaikat Jibril a.s. dan diteruskan kepada ummat manusia secara mutawatir dengan bentuknya yang sangat global ( mujmal ). Oleh karena keadaanya yang masih global sedangkan ia harus dipedomani sebagai petunjuk oleh manusia, maka ia perlu dijelaskan dan dijabarkan. Dengan demikian ummat yang hendak memedomaninya hendaklah mencari sumber ajaran kedua sebagai pendamping Al Qur'an, yakni Al hadits.


A. DALIL KEHUJJAHAN HADITS
Al Hadits dalam arti khusus adalah Sunnah atau sunnah Rosul sebagaimana yang tersebut dalam sabdanya :
لقد تركت فيكم أمرين لن تضلّوا إن تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله ( رواه المالك )
Artinya : " Telah aku tinggalkan pada diri kamu sekalian dua perkara hingga kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengannya. Yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rosul-Nya " ( H.R.. Malik )
Agar hadits mempunyai kekuatan hukum sebagai sumber sekaligus pedoman ajaran islam, maka ia harus mempunyai dalil kehujjahan, dasar hukum yang jelas. Ada dua dalil kehujjahan sebagai sumber ajaran islam yang dapat dijadikan acuan, yaitu dalil tekstual ( dalil Naqli ) dan dalil rasional ( dalil 'Aqli ).
1. Dalil Tekstual ( Naqli )
Yakni bukti – bukti yang berupa teks – teks ( nash ), baik dari Al Qur'an maupun Al Hadits itu sendiri. Teks – teks yang dimaksud diharapkan memberi isyarat kepada kita bahwa Al Hadits berkedudukan sebagai sumber ajaran islam setelah Al Qur'an. Berikut dalil kehujjahannya secara tekstual dapat disimak bebrapa ayat dan hadits berikut :
a. dari ayat al Qur'an yang menjelaskan kedudukan Al Hadits, yaitu :
1) Surat An Nisa ayat, : 59
ياايهاالذين اموا اطيعوالله واطيعواالرسول واولى الامر منكم...( النساء : 59 )
Artinya : " Hai orang – orang yang beriman ta'atlah kamu semua kepada Allah dan ta'atilah rasul-Nya dan Ulil amri diantara kamu "
2) Surat An Nsa ayat, : 80
من يطع الرسول فقد أطاع الله......( النساء : 80 )
Artinya : " Barang siapa menaati rasul, niscaya ia menaati Allah ".

3) Surat An Nahl, ayat : 44
وانزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون ( النحل : 44 )
Artinya : " Dan Aku menurunkan Al Dikr kepadamu agar kamu menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir ".
4) Surat Al Maidah, ayat 92
واطيعوالله واطيعواالرسول واحذروا...( المائدة : 92 )
Artinya : " Dan taatlah kepada Allah dan taatilah rasul-Nya, dan berhati – hati…….)
5) Surat Al Hasyr, Ayat : 7
وما اتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا.......( الحشر : 7 )
Artinya : " Apa yang dibawa rasul-Nya maka ambillah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah ".

b. dari hdits yang didapati sabda mengenai kedudukan hadits yang sangat populer, yaitu :
لقد تركت فيكم أمرين لن تضلّوا إن تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله ( رواه المالك )
Artinya : " Telah aku tinggalkan pada diri kamu sekalian dua perkara hingga kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengannya. Yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rosul-Nya " ( H.R.. Malik )

2. Dalil Rasional ( 'Aqli )
Yang dimaksud dengan dalil ini adalah argumen yang disusun berdasarkan pendekatan akal untuk menjelaskan kedudukan hadits. Hampir dapat dibayangkan betapa seorang manusia tidak akan bisa menjalankan praktik ' ubudiyyah maupun praktik Mu'amalah dengan benar bila mengambil pijakan langsung dari a Qur'an tanpa mengetahui keterangan dan penjabaran dari hadits terhadap ayat – ayat mengenai hal – hal di atas.
Di antara kita tidak mungkin bisa mendirikan sholat tanpa memedomani al Hadits, karena dalam al Qur'an hanya ditemukan perintah sholat, perintah ruku', dan sujud secara mujmal tanpa disertai penjelasan teknis bagaimana cara melaksanakannya, berapa roka'at untuk pelaksanaan sholat dzuhur, apa yang dibaca di dalamnya, dan sebagainya. Begitu pula al Qur'an tidak menerangkan syarat dan rukun untuk sholat, puasa, dan praktik ibadah lainnya, kecuali perintah belaka.
Oleh karena itu para shahabat senantiasa kembali kepada Rasul Allah SAW.untuk mencari tahu mngenai hal – hal yang tercantum dalam al Qur'an tetapi sulit dipahami, apalagi ketika menjumpai beberapa peristiwa yang tidak didapati dalam teks ( nash ) dalam al Qur'an, kecuai hanya melalui ketetapan ( Taqrir ) dari nabi. Begitu pula para imam di masa – masa awal melakukan hal yang sama. Karena kegigihannya mencari keterangan dari hadits terhadap al Qur'an itulah maka mereka disebut sebagai imam mujtahid, yakni para tokoh yang serius menekuni bidangnya.
Hal ini tidak mengandung maksud untuk mengecilkan atau merendahkan posisi al Qur'an, tetapi justru menjadikannya sebagai wahyu yang berstatus sebagai sumber ajaran islam yang pertama dan utama.

B. FUNGSI HADITS TERHADAP AL QUR'AN
Al Qur'an yang suci diturunkan untuk kepentingan ummat manusia dan makhluk lainnya disegala waktu dan tempat. Oleh karenanya ia harus mampu menerobos dimensi kemanusiaan tanpa dibatasi oleh waktu dan temapat, dengan menawarkan konsep – konsep yang universal, bahkan tidak hanya tersentral pada obyek saja, yakni ummat islam, tetapi mampu berinteraksi dengan seluruh ummat manusia dan jin di dunia. Hal ini besar sekali peluangnya untuk menjadikan konsep al Qur'an bersifat radikal, ideal, dan melangit, sementara ia untuk makhluq yang hidup di pelataran bumi.
Nah, agar universalitas al Qur'an dapat diinterpretasikan dalam kehidupan ummatnya dan membumi, maka diperlukan pemahaman dan interpretasi. Salah satu referensinya adalah hadits nabi. Berkenaan denganhal tersebut Hadits terhadap al Qur'an befungsi sebagai berikut :
1) Sebagai Tabyin ( Penjelas )
Yang berarti menjelaskan nash al Qur'an yang dalam dan luas maknanya agar menjadi berarti, jelas, dan dapat dilaksanakan isinya ( practicable ), serta bisa diterima misinya ( accesable ), fungsi ini tersurat dalam ayat berikut :
وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم ولعلهم يتفكرون ( النحل : 44 )
Artinya : " Dan Aku menurunkan Al Dikr kepadamu agar kamu menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir ".
2) Sebagai Takhshish ( Pengkhushusan )
Dengan fungsi ini al Hadits memberikan spesifikasi terhadap ayat – ayat yang masih bersifat umum andungannya. Misalnya, ayat tentang pebagian waris berikut ini masih bersifat umum :
يوصيكم الله فى اولادكم للذكر مثل حظ الانثيين...( النساء : 11 )
Artinya : " Allah berwasiat kepada kalian dalam hal pembagian waris untuk anak – anak kalian bahwa bagi anak laki – laki ada hak sama dengan dua anak perempuan ".( Q.S. An Nisa : 11 )
Kata ( الذكر ) yang berarti anak laki – laki dalam ayat di atas masih bersifat umum, maka keumumannya tersebut perlu ditakhshish, dispesifikasi dengan hadits berikut ini hingga lebih jelas maksudnya :
.....إلا لقاتل الوارث........
Artinya : " ……Kecuali ( anak laki – laki ) yang membunuh ( orang tua ) yang mewarisi ……..)
Dengan hadits tersebut tidak semua anak laki – laki memperoleh bagian dua kali lebih tinggi dari bagian anak perempuan sabagaimana yang secara tekstual tertera dalam ayat di atas. Atau ayat di atas ditakhshish dengan hadits berikut : .....إلا فى غيرالدين
Artinya : " kecuali ( anak – anak lelaki yang memeluk ) agama lain ".
3) Sebagai Ta'kid ( Penguatan )
Maksudnya adalah hadits memberikan penekanan dan penguatan terhadap apa yang termaktub dalam al Qur'an. Misalnya tentang kewajiban shalat, puasa, dsb. Yang telah diungkap dalam al Qur'an akan ditekankan kembali dalam hadits, baik mengenai hukum pelaksanaannya maupun teknis pelaksanaannya.
4) Sebagai Taqyid ( Pembatasan )
Adalah berfungsi untuk membatasi absolusitas obyek hokum dalam al Qur'an. Misalnya ayat berikut :
فاقطعوا ايديهما.....
Artinya : " Maka Potonglsh kedua tangannya……..
Kata ايديهما di atas belum ada ada batasannya, masih bersifat umum, yang mana tangan mempunyai banyak bagian, dari bahu hingga jari jemari. Agar menjadi jelas maksud di atas maka ditaqyid ( dibatasi ) dengan hadits, hingga yang dimaksud dengan ايديهما adalah pergelangan tangan ( كوعيهما ), bukan keseluruhan tangan.
5) Sebagai keterangan terhadap materi agama yang belum dijelaskan dalam al Qur'an
Fungsi ini disebut istilah الإستقلال بتشريع بعض الاحكام . misalnya tentang larangan menikah dengan wanita dan bibinya sekaligus dalam waktu yang sama. Hal tersebut belum termaktub dalam al Qur'an, baik secara eksplisit maupun implicit, maka hadits berperan menerangkannya sebagai berikut :
عن ابى هريرة أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال : لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة وخالتها ( رواه البخاؤى مسلم )
Artinya : " Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda : seorang tidak boleh mengumpulkan seorang wanita besama bibinya ( sebagai istri ). ( H.R. Bukhori Muslim )
Fungsi hadits dalam al Qur'an yang demikian telah disinggung dalam al Qur'an. Misalnya melalui firman Allah :
..ويحل لكم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث...( الاعراف : 157 )
Artinya : " ..dan Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik, dan mengharamkan bagi segala yang buruk…

Ayat di atas mengandung isyarat, bahwa al Qur'an telah memberikan batasan mana yang halal dan mana yang haram. Jika keduanya belum terkaver secara rinci di dalamnya, maka dijelaskan melalui hadits nabi. Bagaimana hokum binatang yang bertaring, burung yang berparuh tajam, adalah keterangan hanya ada dalam hadits. Apalagi ketentuan mengenai mu'amalah, utamanya yang bersinggungan dengan komunikasi multirateral dan multicultural, dalam al Qur'an hanya didapati garis besarnya saja, sedangakan tutunan secara rinci mengenai hal di atas bersumber pada nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun sikap dan sifatnya.

C. HADITS NABAWI DAN HADITS QUDSI
Pada dasarnya hadits nabawi dan hadits Qudsi mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama terhadap al Qur'an. Tetapi secara filosofis keduanya berbeda atau paling tidak mempunyai perbedaan. Perhatikan uraian berikut ini :
1) Hadits Nabawi
Adalah hadits yang isi dan redaksinya semata – mata merupakan otoritas Nabi Muhammad SAW. Yang demikian itu tentunya jika merupakan hadits shahih, dan jika tidak maka tidak.
Ungkapan hadits nabawi mempunyai arti hadits yang bernisbat pada nabi, yakni berupa khabar tentang ucapan, perbuatan, keputusan / ketetapan, dan sifat yang datang dari nabi, baik isi maupun redaksinya. Hadits Nabawi inilah yang menjadi obyek kajian dalam tulisn ini. Ketentuan dan sifat – sifatnya sangat kompleks hingga menuntut para pengakajinya untuk bersungguh – sungguh.
2) Hadits Qudsi
Secara harfiyyah kata Qudsi berarti suci. Dengan demikian hadits qudsi adalah hadits yang dihubungkan dengan Dzat Yang Maha Suci yaitu Allah SWT. Adapun menurut para ahli dibidangnya, hadits Qudsi dijelaskan sebagai berikut :
ما نقل الينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه أى ربّه عزّ وجلّ
Artinya : " Apa yang kita terima dari Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan isnad yang sampai pada Allah Yang Maha Mulia dan Agung ".
Definisi tersebut perlu dipahami secara teliti bahwa hadits Qudsi adalah hadits yang merupakan ucapan nabi, tetapi isi dan redaksinya dari Allah. Meskipu demikian haidts qudsi bukan merupakan wahyu yang apabila dibaca akan mendatangkan nilai ibadah. Inilah yang membedakannya dengan al Qur'an. Secara definitive perbedaannya dengan al Qur'an dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut :
NO AL QUR'AN HADITS QUDSI
1 Reaksi dan isi dari Allah Isi dari Allah, redaksi dari Nabi saw
2 Membacanya termasuk ibadah Tidak termasuk ibadah
3 Eksistensinya pasti mutawatir Adanya tidak harus mutawatir
4 Merupakan dalil Qath'ai Merupakan dalil Dhanni

Adapun perbedaanya dengan hadits nabawi adalah sebagai berikut :

NO HADITS NABAWI HADITS QUDSI
1 Redaksi dan isi dari Nabi saw Isi dari Allah, redaksi dari Nabi
2 Jumlahnya tidak terbatas Jumlahnya terbatas
3 Berawalan : قال النبي , كان النبي Berawalan : قال الله , يقول الله

Kembali lagi pada pengertian hadis Qudsi. Mahmud Yunus menerangkan bahwa hadits qudsi adalah hadits yang merupakan khabar yang diberikan Allah melalui ilham atau mimpi, yang kemudian isinya dikhabarkan oleh Nabi saw.dengan redaksinya sendiri. Keadaan tersebut jelas berbea dengan al Qur'an yang diterima dari Allah sebagai barang jadi, baik isi maupun redaksi melalui Malaikat Jibril a.s.
Sedangkan menurut al Kirmani hadits Qudsi disebut pula hadits Ilahi dan hadits Robbani. Hadits qudsi diketahui dengan ciri dimulai dengan قال الله atau يقول الله . ada dua bentuk periwayatan hadits qudsi yang lazim digunakan oleh perawi, yaitu :
a. Dengan pernyataan sebagai berikut :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عزّ وجلّ
Artinya : " Rasulullah saw besabda sesuai dengan apa diterima dari Tuhan-Nya yang Maha Mulia dan Agung ".
b. Dengan Ungkapan sebagai berikut :
قال الله تعالى فيما رواه عنه رسوله صلى الله عليه وسلم
Artinya : " Allah berfirman sesuai dengan apa yang telah diterima oleh rasul-Nya saw. "
Contoh hadits qudsi dengan bentuk periwayatan seperti di atas adalah empat hadits sebagai berikut :
عن ابى ذر رضي الله تعالى عنه عن النبي صلَى الله عليه وسلم فيما روى عن الله تبارك وتعالى انه قال ياعبادى إنى حرّمت الظلم على نفسي وجعلته بينكم محرما فلا تظالموا ...
Artinya : " Dari Abu Dzar r.a dari Nabi saw. sesuai apa yang diterima dari Allah bahwa Dia berfirman : Hai hamba-Ku, sungguh Aku telah mengharamkan kedhaliman terhadap diri-Ku sendiri an telah Aku menjadikannya sebagai larangan bagi kamu semua. Maka janganlah saling beraniaya….)
قال النبي قال الله عز وجل : أنا عند ظنّ عبدي بي وانا معه حيث يذكرني ( رواه البخارى عن ابي هريرة )
Artinya : " Nabi saw bersabda : Allah berfirman : Aku berada pada persangkaan hamba-Ku terhadap Aku, dan Aku bersamanya selama ia mengingat Aku ".
قال النبيّ قال الله تعالى : الصوم جنة والصوم لي وأنا أجزي به اذا كان يوم صوم احدكم فلا يرفث....
Artinya : " Nabi saw bersabda : Allah berfirman : puasa merupakan perisai, puasa itu milik-Ku, dan Aku akan membalasnya, jika hari puasa diantara kalian tiba, hendaklah ia tidak berbuat dosa "
قال النبي قال الله تعالى : ياعبادى كلكم ضالّ إلا من هديته فاستهدونى أهدكم.
Artinya : " Nabi bersabda : Allah berfirman : Hai hamba-Ku semua, kamu akan sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk. Maka mohonlah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku memberi petunjuk kepadamu ".
Dengan demikian jelaslah bahwa Hadits Nabawi bersumber pada Nabi, sedangkan Hadist Qudsi bersumber pada Allah, tetapi ia tidak sama dengan wahyu yang dikenal sebagai al Qur'an.
Secara Kwantitas jumlah Hadits Qudsi memang tidak sebanyak jumlah Hadits Nabawi, Namun demikian tidak sedikit dari 'Ulama yang berupaya membukukannya. Diantara mereka adalah ibnu Taimiyyah dengan judul Al Kalim At Thayyib li ibn Taimiyyah. Sedangakan dari golongan muta'akhirin disebut nama Mulla Ali Al Qari yang tidak kalah terkenalnya pada zamannya. Adapun buku yag secara khusus berisi hadits qudsi antara lain : al Ittihafat al Saniyyah bi al Ahadits al Qudsiyyah karya Abdur Rauf al Munawi. Buku ini memuat 272 Hadits.



SUMBER RUJUKAN

Sulaiman PL, Noor, Prof.,Dr., Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Gaung Persada Press Jakarta, 2008.
Suparma, Munzier, Drs., Ilmu Hadits, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar